SUARITOTO - Ini kisah cintaku yang kedua kali mengalami kegagalan, setelah setahun lalu ditinggal mati oleh kekasih yang bertepuk sebelah tangan. Kini yang aku alami juga hampir serupa, sekarang bagiku semua perempuan di dunia ini hanya menilai seorang pria dari segi materi. Dan kita sebagai pria yang berekonomi bawah, apa tidak pantas mendapatkan yang namanya CINTA?
Sebelum memulai kisah cintaku yang kedua kali, perkenankan aku memperkenalkan diri. Nama saya Udin, seorang pria dengan wajah yang cukup sangar, dengan kulit hitam dan tatto yang hampir memenuhi sekujur tubuh. Wajat saja sih, selain penampilanku yang berantakan dan status ekonomu yang suram, tidak ada satu wanita pun yang tertarim padaku.
Sehari-hari aku hanya bantu Syamsul di kios kecilnya yang melayani tambal ban dan jual bensin eceran. Di lain itu, kami juga punya sampingan seperti memalak orang, mencopet dan bekerja sebagai eksternal kolektor bila diperlukan.
Kisahku di mulai ketika seorang gadis yang sangat cantik singgah di kios kami. Awalnya dari kejauhan ku lihat gadis itu mendorong sepeda motornya. Ku perhatikan baik-baik, ternyata ban motornya kempes, selain kasihan aku juga berpikir dia adalah konsumen kami, makanya aku berlari ke arahnya dan membantunya mendorong ke kios kami.
“Makasih mas…”, kata gadis itu dengan senyumannya yang manis.
Dari wajahnya yang senduh, menyiratkan dia gadis Jawa tulen.
“Langsung cek di kios saya saja ya mbak…”, aku menawarkan bantuan.
Ia berjalan di sampingku mengikuti hingga ke kios kecil kami. Syamsul sedang mengerjakan motor lainnya sehingga ia tidak menghiraukan lagi kegiatanku.
Ku standar-dua kan motor matik Yamaha Mio lama milik gadis itu. Ku persilahkan gadis itu duduk sambil menunggu aku mengecek kendaraannya.
“Wah, kena paku nih mbak…”, setelah ku cek, ternyata ini adalah paku yang sering kami tebarkan setiap malamnya.
“Lubangnya lebar mbak, mesti ganti ban…”, jawabku.
“Kalau ganti ban berapa mas?”, gadis itu bertanya lagi, terlihat dia sangat resah.
“Kalau yang biasa cuma dua puluh lima ribu, yang bagus tiga puluh lima ribu…”, jawabku.
Gadis itu terlihat diam lalu membuka tasnya dan melihat isi dompetnya. Seperti dugaanku, gadis itu tidak membawa uang yang cukup.
“Kurang dong mas…”, tawar gadis itu menampakkan wajah memelas.
Aku cukup kasihan dengannya, lalu aku melihat ke arah Syamsul, kira-kira apa yang bisa dijadikan solusi dari Syamsul.
“Saya terburu-buru mas, mau kejar ke kampus, jadi tak sempat bawa uang…”, lanjut gadis itu.
Aku bingung harus bagaimana, lalu Syamsul cuma nyeletuk,
“Din… Din… Emang lu mau nombokin dulu?…”, membuat aku tidak enak hati, masa aku harus biarkan gadis ini tidak bisa membawa kendaraannya?
BACA JUGA: ENTOT SITI PEMBANTU KU YANG BOHAY
“Ya sudah, saya tinggalkan KTP dulu, nanti pulang kuliah, saya singgah lagi.
Karena tidak tega, akhirnya aku menyetujuinya,
“Gue talangkan dulu bro…”, aku kasih tahu ke Syamsul agar mendapat ijinnya juga.
“Diingat tuh, tar bangkrut kita kalau dihutangin terus…”, kata Syamsul menyindirku.
“Ini nomor hp saya, kalau saya gak kembali, cari saya aja mas…”, merasa tidak enak, gadis itu mencatatkan nomor hp nya ke kertas kosong, dan ia serahkan bersama KTPnya.
“ranti?”, kubaca KTPnya.
“Ya sudah, pendidikan lebih penting, nanti saja mbak sempat baru bayar…”, kataku sambil menyimpan KTP dan nomor hp nya ke dalam lacu meja.
Setelah selesai mengganti ban dalamnya, akhirnya ranti pamit dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Waktu tak terasa cepat berlalu, banyaknya langganan yang datang membuat aku tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 22:45 di mana biasanya kami sudah tutup kios.
“Loh, cewek tadi belum datang bayar hutang Din?”, tanya Syamsul.
“Belum bro…”, jawabku.
“Lu jangan mau termakan rayuan orang bro, muka boleh cantik, tapi kita kan gak tau hatinya gimana?!”, tegur Syamsul.
“KTPnya kan kita sita mas bro…”, jawabku membela.
“Hahaha, KTP tembak cuma lima ribu bisa dapat Din… Ini kan KTP kabupaten, gampang dapatnya…”, aku kemudian ditakuti Syamsul hingga aku segera mencari no hp-nya.
Ku telpon gadis itu dengan hp-ku, tiga kali ku telpon tidak satu kali pun diangkatnya.
“Tuh kan, lu kena tipu Din…”, lanjut Syamsul.
“Apes deh…”, kataku.
Tidak apalah pikirku, anggap saja buang sial, aku bayarkan dengan uangku terlebih dahulu. Tidak lupa sebelum tutup toko, ku sms ranti, ‘Mbak, ini Udin yg td ganti ban motor mbak. Kpn mw byr?’. Aku pun pasrah menunggu balasan sms-nya yang kian tak kunjung tiba.
Namun pagi harinya ternyata ranti membalas sms-ku,
‘Sorry mas, smlm plg kuliah, saya ngantuk n ketiduran, jd lupa singgah ke kios mas.’ Aku sedikit lega karena ranti ternyata tidak membohongiku, setidaknya dua puluh lima ribu masih bisa untuk mengganjal perut selama dua sampai tiga hari bagiku.
Aku menunggunya di kios hingga siang, ranti kembali sms ‘Sorry mas, motor kena pakai adik, kalo mas perlu cepet, boleh gak ambilkan di rmh sekalian bwa KTP saya.’ isi sms ranti. ‘Saya byk kerjaan’ kesal ku balas sms nya yang menurutku sedikit mempermainkanku. Namun karena aku tidak mau nombok uang itu, segera kulihat alamat KTP nya, karena tidak begitu ramai, aku pun segera ke alamat yang tertera KTP itu.
“Cari siapa yah?”, tanya ibu itu.
“Apa benar ini rumahnya ranti?”, tanyaku.
“Iya, ini siapa?”, ibu itu bertanya seolah takut dengan penampilanku yang menyeramkan.
“Saya….”, belum sempat menjelaskan lalu ternyata ranti pun keluar,
“Udin?”, ibu ranti sedikit lega karena anaknya mengenaliku.
“Ini loh ma yang tadi pagi Anti cerita…”, kata ranti menjelaskan ke ibunya.
“Oh, orang bengkel?”, ibunya ternyata sudah mendengar cerita ranti.
“Ayo masuk…”, ibunya ranti mempersilahkan aku masuk.
“Gak pa pa bu, cuma mau ngambil uang sama balikin KTP…”, kataku.
“Mas sibuk ya?” tanya ranti sambil memberikan uang padaku.
“Gak juga sih…”, jawabku.
“Gini, Anti mau ke kampus tapi motor dibawa adik, boleh minta tolong antarin gak mas?”, tanya ranti.
“Nanti Anti byr deh biaya ojeknya…”, sambungnya.
Pikir-pikir boleh juga, lagian kampusnya satu arah ke kios kami. Akhirnya aku menyetujuinya.
Pulangnya dia juga meng-sms aku agar menjemputnya. Sejak itu kami menjadi sering sms, apalagi kalau motornya dipakai adiknya, maka ranti akan menggunakan jasa ojekku. Tidak rugi juga, karena lama kelamaan kami benar-benar akrab. Sampai Anti ke mall maupun berkumpul dengan temannya pun, ia selalu mengajakku, hingga suatu hari aku pun iseng menyatakan cinta, dan sungguh jawaban yang tidak pernah aku bayangkan, ranti menerimaku.
Kami akhirnya pacaran, hingga berlanjut sampai sekitar 2 tahun. Belakangan inilah aku sudah mulai menaruh curiga. Seperti percintaanku terdahulu, orang tua pacarky mulai tidak mengijinkan kami jalan berdua. Aku semakin susah mengajak ranti keluar bareng, ibunya selalu melarang, bahkan orang tua nya enggan berbicara denganku. Pikiranku mulai resah, aku bertanya kepada ranti melalui sms, ia pun jujur padaku, orang tua nya ingin yang terbaik untuk ranti. Memang sesuatu yang wajar bagi orang tua untuk melihat anaknya bahagia. Cuma yang tidak habis pikir, kenapa tidak sedari dulu mereka melarang hubungan kami? Setelah sekian banyak pengorbanan, kini kami harus dipisahkan?
Akhirnya pikiran jahatku mulai timbul seperti kisahku yang lalu, tidak mau dirugikan, akupun minta ketemu ranti di luar. Anti sebenarnya masih mencintaiku, namun posisinya serba salah, ia tidak mungkin menjadi anak durhaka yang tidak mematuhi kemauan orang tuanya. Ku sms dengan nada yang meyakinkan bahwa aku akan memperjuangkannya.
Pikiran busukku akhirnya berencana pada penodaan ranti. Aku memintanya ketemu di hotel, aku beralasan kontrak rumahku telah habis, dan memerlukan waktu mencari kontrakan baru, sehingga sementara aku menginap di hotel yang murah. ranti pun menyetujuinya. Aku telah mempersiapkan kondom untuk menidurinya. Setelah ranti datang dan masuk ke kamar, ribuan serangan rayuan ku gencarkan hingga ia terbuai.
Awalnya kami hanya duduk berdekatan di ranjang, hingga berpelukan dan ciuman. Rayuan gombalku berhasil, pelan-pelan kulepaskan kancing baju ranti, ia tidak melaean, sambil berciuman bibir aku melepaskan pakaiannya. Hingga ia hanya menggunakan bra dan celana dalam yang serba warna hitam